top of page

Myanmar - Part 1

  • Writer: Lia
    Lia
  • Apr 22, 2022
  • 3 min read

Minggu kedua Maret 2014, pertama kalinya saya menginjakkan kaki di Myanmar. Negara yang terasa asing di telinga. Perjalanan saya dimulai dari ajakan seorang teman kampus yang gila traveling, Jass. Mahasiswa India yang sama-sama mengejar gelar master di Singapura. Awalnya saya enggan untuk ikut perjalanan ini. Myanmar yang ada di pikiran saya adalah negara yang kurang berkembang dengan masalah perebutan kekuasaan antara militer dan pemerintah terpilih. Hal ini jelas terkesan sangat mengerikan untuk saya yang pengalaman traveling-nya bisa dihitung dengan jari. Keraguan saya berbanding terbalik dengan Adit, seorang mahasiswa Indonesia asal Papua, dan Sascha yang berasal dari Austria. Mereka sangat antusias dengan rencana ini. Setelah menimbang-nimbang, saya pun luluh dengan pemikiran: kapan lagi saya bisa mengunjungi Myanmar, apa lagi saya akan melanjutkan studi S2 saya di Brisbane dalam 2 minggu.


Sesuai dugaan, perjalanan kali ini tidaklah mudah. Kami kesulitan mencari penginapan yang layak di situs online, penginapan yang ada hanya berupa losmen-losmen lokal. Penginapan yang kami pesan saat itu hanya seharga 20-an dolar Singapura per kamar. Mencari money changer yang memiliki kyat, mata uang Myanmar, menjadi tantangan berikutnya. Pencarian kami pun berubah menjadi perjalanan mengelilingi Singapura. Alhasil, kami hanya berhasil menukarkan 200 dolar. Pagi itu kami berempat berkumpul di Ang Mo Kio Station untuk berangkat bersama. Sesampainya kami di bandara, ternyata salah seorang teman kampus kami yang berasal dari Myanmar, Frank, akan menaiki pesawat yang sama. Kebetulan ini menjadi awal dari keberuntungan kami!


Frank bersikukuh agar kami tinggal di rumahnya. Menurutnya, sang ibu akan senang sekali bila ia pulang dengan membawa teman dari berbagai negara apa lagi saat itu penginapan di Yangon dirasa kurang layak untuk kami. Keramahannya membuat kami segan untuk menolak. Sampailah kami di bangunan apartemen berlantai 5. Frank tinggal di lantai teratas dan menempati seluruh lantai tersebut. Kami disambut dengan hangat oleh keluarga besar Frank. Para pria akan tinggal di lantai atas, dan saya menempati kamar adik Frank yang sedang bersekolah di asrama. Kamarnya sangat luas dengan balkon sepanjang kamar tersebut. Dari Balkon, samar-samar saya melihat puncak Pagoda Shwedagon yang menjulang. Saya beristirahat sejenak di kamar tersebut sembari menikmati pemandangan indah.


Source: Dokumen Pribadi

Setelah beristirahat sejenak, kami dan Frank berkeliling area tempat tinggalnya dengan berjalan kaki. Jalanan yang kami lalui dipenuhi pedagang kami lima di berbagai sudut dan toko-toko dengan berbagai barang dagangan yang membludak hingga mengambil sebagian

sisi trotoar. Ternyata Yangon tidak semenakutkan yang saya kira. Tak jauh beda lah dengan hiruk pikuk pusat perdagangan dan pasar di ibukota tahun 90an. Frank mengajak kami mencicipi salah satu minuman tradisional yang dijajakan di pinggir jalan. Segelas yoghurt yang diberi cairan gula merah dan es batu. Rasanya unik dan menyegarkan. Kami duduk di bangku-bangku kecil yang tersedia sembari menikmati minuman tersebut ditemani kacang rebus yang dibungkus plastik. Di sekeliling kami, penjual sirih, air tebu, buah-buahan, gorengan, dan jajanan tradisional lainnya saling bersahutan menjajakan dagangannya. Satu hal yang menarik perhatian saya, sepanjang trotoar dipenuhi penjaja buku-buku bekas dengan berbagai genre, tumpukan majalah lawas dan koran yang sebagian besar berbahasa inggris. Para pembeli pun sibuk memilah-milah buku-buku dengan antusias. Saya membayangkan bagaimana mereka begitu haus dengan pengetahuan dari dunia luar hingga rela berdesakan mencari buku yang diinginkan tanpa memperdulikan padatnya para pejalan kaki yang lalu lalang.


Siang itu Frank mengajak kami mencicipi masakan khas Kachin karena Frank dan keluarganya adalah suku Kachin dari Myanmar utara, daerah yang berbatasan langsung dengan India dan China. Berbagai tumisan sayur dan daging dihidangkan di depan kami. Masakan Kachin banyak mendapat pengaruh dari negara tetangga, tidak heran beberapa sajian menggunakan banyak rempah-rempah seperti masakan India sedangkan sebagian lagi terinspirasi dari masakan Yunnan dan Tibet. Satu-satunya sayur yang bisa saya kenali hanya tumisan pakis yang ditaburi kacang tanah, sekilas terlihat mirip kangkung belacan yang saya cicipi di Denpasar. Ikan bakarnya pun kaya akan rasa dan harum.


Setelah melahap hidangan makan siang, kami melanjutkan perjalanan menuju Pasar Bogyoke Aung San atau dikenal juga sebagai Scott Market. Bangunan zaman kolonial berwarna krem ini menjual berbagai macam barang mulai dari kerajinan bahkan perhiasan. Pertama kali melangkahkan kaki ke dalam bangunan ini, kami disambut jejeran toko perhiasan di sepanjang lorong utama. gemerlap perhiasan dan berbagai kerajinan emas lainnya memang cukup membuat kami tercengang. Di Lorong-lorong berikutnya dijual berbagai macam Longyi, kain sarung khas Myanmar, juga patung-patung hasil pahatan pengrajin lokal, oleh-oleh dan berbagai barang kebutuhan lainnya. Kami berkeliling sebentar di dalam pasar, lalu menuju pusat kota dengan mobil Frank.

Source: Dokumen Pribadi

Bangunan kolonial menghiasi perjalanan kami menuju pusat kota Yangon. Lalu kami mengunjungi Pagoda Sule yang terletak di tengah bundaran jalan. Pagoda bersegi delapan berumur lebih dari 2.000 tahun ini dipenuhi warga yang berdoa. Kami berjalan berkeliling namun mengurungkan niat untuk masuk karena enggan mengganggu ibadah mereka. Pagoda Sule dilingkari kios-kios yang menjual berbagai keperluan beribadah, peramal garis tangan dan sebagainya. Bundaran dimana pagoda Sule berada dikelilingi bangunan balai kota, old tourism building, dan taman Maha Bandula dengan monumen kemerdekaan didalamnya. Hal ini membuat sule pagoda menjadi landmark yang unik dan menarik. Cont..

Source Dokumen Pribadi

Comments


© 2023 by Lia's Peregrination

bottom of page